Proses Kelahiran Thariqat Tijaniyah
Kelahiran
Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai
wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum; sebagai telah dikatakan
dicapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum
diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak
usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau
mendalami berbagai cabang ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan ilmu Adab.
Kemudian mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun beliau mendalami teori-teori ilmu
tasawuf dan mengamalkan ajaran-ajaran sufi dan dari usia 31 tahun sampai 46
tahun beliau melakukan disiplin ibadah membersihkan jiwa tenggelam mengamalkan
amalan wali-wali. Dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai
belahan daerah di Tunisia,
Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez,
dan Abi Samgun. Kunjungan kepada wali besar itu dalam upaya silaturrahmi dan
mencari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali
besar, sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syekh Ahmad
al-Tijani adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain.
Kesaksian para wali besar atas derajat kewalian Syekh Ahmad al-Tijani yang
tinggi diakui dan disaksikan dihadapan Syekh Ahmad al-Tijani. Ungkapan
kesaksian demikian bisa terjadi, karena di dunia sufi diakui bahwa seorang wali
bisa melihat wali, derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang
Hakekatnya berasal dari Allah swt. Derajat wali semata karena Allah, anugerah
dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah, apabila seorang
wali dengan ilmu ma’rifahnya dan atas anugerahnya bisa mengetahui derajat
sesama wali.
Proses
panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan panjang kunjungan Syekh Ahmad
al-Tijani kepada kepada pembesar wali, dengan kesaksian-kesaksiannya, berakhir
di Padang Sahara,
daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun 1196 H., beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samgun. Di tempat inilah (Pada tahun
1196 H.) Syekh Ahmad al-Tijani mencapai anugerah dari Allah, yaitu “(pembukaan
besar)”.
Pada
saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mengaku, berjumpa dengan
Rasulullah saw., melihat Rasulullah saw., secara “(dalam keadaan sadar lahir
batin)”, bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum yang penting
dan menentukan bagi Syekh Ahmad al-Tijani, pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh
Ahmad al-Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari
Rasulullah saw., berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100 kali. Empat tahun
kemudian (pada tahun 1200 H.) wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah
saw., dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali. Wirid-wirid yang
diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., melalui al-Fath, perjumpaan secara
yaqzhah ini memberikan kepada Syekh Ahmad al-Tijani otoritas sebagai Shahib
al-Thariqah.
Sebagaimana
telah dijelaskan, pada saat talqin, Rasulullah saw., juga menjelaskan
ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkan kepada Syekh Ahmad
al-Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran wiridnya yang sangat tinggi,
Rasulullah saw. memerintahkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani agar hanya
berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, meninggalkan wirid-wirid yang lain,
dan juga meninggalkan para wali yang lain. hal ini menunjukan jaminan
Rasulullah saw., atas keunggulan wirid tersebut, atas wirid-wirid yang lain,
dan jaminan Rasulullah saw., menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan
sekaligus perantara dihadapan Allah sebab, menurut Ali Harazim, melalui
Rasulullah saw., segala sesuatu diturunkan dari Allah swt. Perintah
meninggalkan thariqat dan wali yang lain disebabkan oleh kedudukan Syekh Ahmad
al-Tijani yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan-jaminan
demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani mengajarkan thariqatnya kepada setiap
ummat Islam yang berminat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda telah berkunjung ke blog saya.....